Sampai
saat ini, permasalahan hak asasi manusia sampai pada titik yang tidak
terselesaikan. Maksud tidak terselesaikan disini adalah dikarenakan tidak
adanya kesepakatan dengan berbagai alasan perbedaan. Perbedaan tersebut dapat
digolongkan menjadi 2 kelompok, yaitu:
- Mereka yang beranggapan
bahwa HAM itu harus diberlakukan
secara universal untuk seluruh umat manusia. Tidak ada perbedaan, dan tidak ada
alasan atas nama budaya.
- Mereka yang beranggapan
bahwa HAM itu tidak bisa diterapkan
secara universal. HAM itu harus dilihat dalam konteks kultur dan budaya
masing-masing. HAM itu tidak berada pada individu, tapi berada pada komunitas
masyarakat. Alasannya adalah manusia itu tidak bisa hidup sendirian, manusia
punya makna dan hakikat apabila ia ditempatkan dalam suatu komunitas. Sehingga
hak asasi yang dimiliki oleh seseorang itu seharusnya ditetapkan oleh
komunitas.
Menurut
relativitas budaya, kebudayaan merupakan satu-satunya sumber keabsahan atau
kaidah moral. Oleh karena itu, HAM perlu dipahami dari konteks budaya
masing-masing. Misalnya hak untuk berpendapat, menurut HAM universal setiap
orang berhak untuk mengeluarkan berpendapat. Manusia itu lahir ke dunia tanpa
ada campur tangan lain-lainnya. Kemudian negara ada karena individu dan melalui
kesepakatan. Oleh karena itu, negara ada karena adanya individu. Maka negara
seharusnya tidak boleh mengekang kebebasan individu, namun melindungi setiap
kepentingan individu. Universal mengatakan bahwa apa yang dilakukan relativis
itu semacam 'kedok' untuk menutupi hal bobrok yang dilakukan pemerintah.
Sementara,
menurut relativis hak berpendapat seseorang itu bisa dibatasi
atau dilarang oleh negara. Lalu apakah kita setuju jika terdapat aturan hukum
yang mengatakan jika kita tidak boleh mengeluarkan pendapat? Jika itu yang
terjadi, maka apakah nanti pemerintahan akan berjalan sebagaimana mestinya?
Apakah tidak akan mengarah pada negara yang anti kritik?
Pandangan universal
mengatakan bahwa aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintahan yang menganut HAM
relativis bukan ditujukan kepada individu dalam masyarakat masing-masing, tapi
ada kepentingan yang siginifikan bagi sekelompok orang yang berkuasa disana.
HAM relativis ini hanya dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan. Oleh
karena itu, paham seperti ini harus dihilangkan.
Bagi
golongan yang menganut paham relativisme mengatakan bahwa kebebasan itu
mengganggu dalam melaksanakan pemerintahan itu sendiri. Seperti contoh diatas,
apabila seseorang diberikan hak yang lebih untuk berpendapat, maka individu
tersebut atau sekelompok orang tersebut akan menjadi provokator untuk lainnya
dan bisa jadi menjadi anti pada pemerintah, sehingga pemerintah akan terganggu
ketika menjalankan pemerintahannya karena selalu diganggu oleh
kepentingan-kepentingan demokrasi. Namun, tidak ada relevansinya kebebasan
berpendapat dengan stabilitas politik. Karena dengan kebebasan berpendapat, ada
kritik yang membangun untuk pemerintah. Contoh di Indonesia,
dimana setiap warga negaranya bisa dengan bebas mengeluarkan pendapat baik
lisan maupun tulisan. Tetapi dalam konteks-konteks tertentu masih ada rasa
takut untuk mengeluarkan pendapat yaitu pencemaran nama baik. Masih ada UU
tentang pencemaran nama baik. Kalau seandainya ini dibiarkan, maka seperti yang
kita lihat di pemilu DKI Jakarta, orang tidak lagi percaya kepada pemerintahan,
orang kehilangan nilai yang ia pegang. Sehingga kita melihat ketika negara
ingin membangun sebuah infrastruktur, namun goyah ketika melihat hal-hal
lainnya masih kurang, masyarakat tidak mau membantu untuk membangun negaranya.
Di
Indonesia, jika kita mengacu pada UUD 1945, hak untuk mengeluarkan pendapat itu
dijamin oleh negara. Tetapi, kita tetap berpatokan pada kelompok HAM relativis,
karena kebebasan itu tetap dibatasi oleh UUD. Dari sini, kita masih memegang
teguh bahwa HAM Indonesia adalah relativis.
Bagi negara-negara
berkembang lainnya, maka pembatasan-pembatasan hak itu mutlak untuk stabilitas
negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar